Friday, January 18, 2013

Blue Sky


hari pertama. ----
 
        Blue sky. Begitulah aku menyebut kota indah dengan langit biru cerah dan gumpalan kapas putih yang lembut. Aku bisa mendengar kicauan burung yang merdu dan gesekan dedaunan yang membentang di sepanjang jalanan beraspal mulus yang berkelok. Kota ini terletak di lereng bukit yang penuh dengan bunga tulip. Sebagian penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam. Hampir semua jenis bunga, sayur dan pepohonan tumbuh subur di atasnya. Kecuali di musim Dingin, waktu yang selalu ku tunggu sepanjang hidupku. Ini hari pertama aku memutuskan untuk tinggal di kota ini. Kalau sebelumnya aku hanya sering berkunjung saat musim semi tiba, Kali ini berbeda. Aku membeli sebuah rumah kayu di pinggir danau, dan mengajak salah satu petani di desa untuk bekerja sekaligus menjadi pengasuh dan ibu pribadi untukku. Bibi Nina namanya. Dia senang saat aku mendatangi rumahnya dan menawarkan pekerjaan dengan gaji yang sangat cukup untuk wanita paruh baya yang hidup sebatang kara. Aku menyayanginya, sejak pertama kali melihat sinar matanya yang lembut. 
           "Cloudy" Bibi Nina tersenyum. Aku melihat raut wajah kerinduan terpancar di kedua bola matanya. Aku tahu dia merindukan Clara anak perempuannya yang pergi lima tahun lalu karena kematian suaminya. Clara pergi membawa surat tanah warisan ayahnya dengan seorang laki-laki miskin tidak tahu diri. Hanya perempuan bodoh yang rela memberikan semua hartanya untuk laki-laki serakah, lalu meninggalkan ibunya tanpa belas kasih sedikitpun. aku yakin tidak lama lagi Clara akan pulang pada Bibi Nina. Dan saat itu, aku akan membuatnya menderita.
          "Kau pasti seumuran Clara, anak perempuanku" Bibi nina memasukkan semua baju dalam lemarinya ke dalam kain besar. Dia menatapku lagi, lalu kembali membungkus baju-bajunya dalam kain tersebut dan mengikat ujung kain itu pada ujung yang lain.
           "Dia akan pulang bibi, percayalah" Aku mengambil bungkusan kain besar ditangannya. Sedikit berat. Akhirnya aku memilih untuk memikulnya di bahuku lalu menarik pergelangan tangannya agar cepat-cepat melangkah ke rumah baruku.     
          "Kau benar-benar anak yang tidak sabaran, orang tuamu pasti sedikit kewalahan mengurusimu" Timpal Bibi Nina sambil berlarian kecil menyusul langkahku yang lebih cepat darinya. Lalu Aku mendengar dia tertawa sejenak dan  mengakhirinya dengan senyum yang khas dan penuh kasih sayang.
               "Mereka terlalu sibuk bibi, bahkan mungkin tidak akan pernah sadar kalau mereka memiliki anak sepertiku. haha" Aku tertawa dihadapannya. Mungkin sebuah tawa aneh yang memang terlihat dibuat-buat. Tapi setidaknya bibi Nina tidak menyadarinya, dan dia hanya sibuk menatap rumah indah di hadapan danau dan hamparan bunga tulip dengan berbagai warna.
            "Dulu, aku hanya bermimpi bisa tinggal di rumah ini. Aku yakin semua petani menginginkannya. Dan aku beruntung bisa menikmatinya dengan gadis cantik yang baik sepertimu" Bibi Nina menatapku dengan senyum merekah. Kedua tangannya terasa begitu hangat menyentuh kedua bahuku. Aku tersipu, senang sekaligus haru menatap sosok Nina kecil yang tertawa lagi. Walau kali ini, dia sudah tidak secantik dan semungil dulu.

I'am back, Nina.

Saturday, January 12, 2013

Nathan

    "Langit masih mendung" aku berbisik di telinga Nathan. Dia menatapku risih. Mungkin dia tidak suka caraku membisikkan apapun di telinganya, Aku pernah mendengarnya mengataiku aneh saat pertama kali aku berbisik tentang gadis berkuncir di telinganya. Kupikir dia yang terlihat aneh, aku bahkan sering melihatnya berbisik dengan segerombolan teman laki-lakinya dan itu malah membuatnya merasa cukup nyaman. 
   "Aku tidak suka ada anak perempuan yang berbisik di telingaku" Nathan menatapku geram. Aku yakin dia membaca otak transparanku dengan baik.
  "Aku akan mencobanya dengan yang lain, kupikir revan baik-baik saja mendengar bisikanku" Aku menghantam bahunya lalu berlari pergi meninggalkan Nathan yang masih menatapku tajam.
  "Sudah berapa kali ku katakan, aku benci kau menyebut nama cowok gila itu di telingaku" Aku yakin teriakannya menandakan dia benar-benar cemburu saat Nama Revan ku sebut. Dan aku suka menyadari semua hal itu. Nathan masih terlihat tampan, bahkan saat Ia memberikan wajah terburuknya di belakangku, sekarang. 
   
Nathan.