Sebuah benda mungil menyentuh pelipisku, mungkin kerikil kecil atau biji rambutan yang jatuh entah dari arah mana. Aku hanya melihat samar atap atap kamarku yang berubah menjadi hamparan hitam dan titik titik putih seperti langit malam. Ada sebuah bentuk setengah lingkaran menyerupai bulan disana. Aku tidak ingat kapan aku mendesain langit langit kamarku menjadi pemandangan malam. Yang kuingat hanya tubuhku yang mulai lunglai dan kepalaku yang terasa pening hingga membuatku terhuyung dan ambruk di atas kasur keras seperti lantai. Mungkin aku sedang bermimpi, aku menghela nafasku sejenak sembari memejamkan kedua kelopak mataku lagi sebelum akhirnya sebuah batu kecil menyentuh pelipisku untuk yang kedua kalinya. Dalam hitungan detik aku berusaha mengingat darimana batu batu kerikil itu datang. Aku rasa kamarku tidak memiliki tempat untuk menampung batu batu kecil saat jendela dan pintu kamarku tertutup, kecuali ada orang lain selain aku.
Aku kembali berusaha membuka mataku lebar lebar. Memegang kepalaku yang terasa berat seakan dua kilogram beras bertengger diatasnya. Bau anyir darah mulai menggelitik hidungku, aku tahu ini bukan kamarku. Tidak ada kasur empuk ataupun karpet halus disini. Gelap. Hanya guratan cahaya dari pantulan sinar rembulan yang menjadi penerang langit diatas kepalaku. Tidak ada yang mengecat langit kamarku karena tubuhku masih mematung diatas tanah yang berselimut rumput dan semak belukar. Aku menatap tubuhku lekat lekat, tidak cukup terlihat jelas kecuali cipratan darah yang melumuri kaos panjang abu abu polosku.
“Mama...mama..” aku menelaah asal suara perempuan kira kira berumur dua puluhan tahun dari tempatku. Hanya pohon pohon besar tua menjulang tanpa celah bak hutan belantara yang terlihat. Aku merasa panik dan sedikit lupa tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku. Dengan perlahan aku mengangkat tubuhku untuk berdiri dan berjalan ke arah suara anak perempuan yang kemudian disusul oleh suara ricuh dalam balutan pekat dibalik semak belukar seperti amukan nyanyian hutan belantara.
*****
Segelas vanilla latte dengan aroma susu menusuk hidungku. Aku berusaha menciumnya sambil menyesap sedikit demi sedikit hingga masih terasa hangat menyentuh kerongkonganku. Baru beberapa menit setelah pesawat lepas landas dari bandara Soekarno Hatta, Sebelum akhirnya seorang pramugari dengan tinggi semampai seperti model model di televisi menawarkanku sederet minuman berbagai jenis. Tiba tiba saja segelas vanilla latte itu menggodaku – bukan karena aku ingin menyesapnya karena haus, lebih tepatnya karena aroma itu memiliki kenangan penting dalam hidupku bersamanya. Aku hanya ingin mengenang masa silam sebelum akad nikah dilantunkan dihadapan ratusan orang esok hari. Tentu hari yang sudah lama kuimpikan sejak aku menyukainya sepuluh tahun silam. Kabar hangat menyibak dadaku saat mengetahui laki laki itu melamarku sebulan yang lalu. Laki laki yang selalu kucintai. Laki laki yang memberi arti penting untuk bersanding denganku.
“Kau akan menikah esok pagi, jangan menunda keberangkatanmu lagi hanya karena sibuk dengan pekerjaan barumu itu”- Suara wanita paruh baya dengan kerutan kerutan didahinya masih terngiang ditelingaku. Wanita yang kusebut dengan panggilan “mommy”,wanita keturunan Jawa Belanda yang dulunya begitu mempesona. Aku rasa itu berlaku sampai saat ini.
“Perempuan macam mana yang masih berada dikota lain saat pernikahannya akan berlangsung kecuali tidak ada keseriusan dalam hatinya untuk menikah.” Sambungnya lagi dengan nada kesal. Aku bisa membayangkan bagaimana mimik wajahnya di balik suara yang mencuat dari telepon genggam ditanganku.
“Aku serius ingin menikah dengannya, jangan menghujatku begitu mom – aku akan berangkat hari ini dan menjadi istrinya esok. Aku mencintainya mom.” Hening. Jawabanku mengundang sebuah sunyi dalam saluran telepon genggam yang menempel ditelingaku. Tidak ada suara yang tersisa sesaat kemudian, kecuali suara Dentuman berkali kali yang menandakan pembicaraan kami telah berakhir.
Tidak ada yang lebih penting dari pernikahan ini mommy, apalagi diusiaku yang kau anggap terlalu tua untuk melajang – walau umurku sudah beranjak 27 tahun aku masih senang dengan pekerjaanku menjadi programmer dan penulis handal. Tapi kau tahu itu mom, aku mencintainya – aku rela meninggalkan apapun untuk laki laki itu.
Aku mengusap setetes air mata diujung mataku. Seulas senyum memantul dari kaca pesawat disampingku. Senyum dari potrait perempuan dengan rambut panjang membentuk satu kunciran terlihat disana. Mataku menerawang keluar jendela, hingga guratan langit dan gumpalan awan memaksaku terpejam. Hanya berharap waktu akan berlari dengan cepat hingga membawaku kekota yang akan menjadi saksi pernikahanku esok hari.
.....
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Post a Comment