Aku memainkan gelas ditanganku
sekali lagi. Membuat gelombang bunyi berdenting hingga pusaran bulatan-bulatan
kecil bermunculan diatas moccacino
yang terdiam didalamnya. Manis dan mempesona. Laki-laki itu, yang masih
tersenyum dibalik layar dihadapanku. Mungkin lebih manis dari moccacino yang kusedu. Dan aku selalu berharap pilihan
maya bukan sebuah kesalahan. Dan bukan sesuatu yang membuat gelombang rasaku
bergetar lebih dari sekedar bahasa kasat mata.
19 Maret 2012
“Berhenti menatapku dengan tatapan
itu”, Raka mendengus sekali lagi. Memainkan keyboard
laptop dihadapannya. Dan tersenyum samar. Mungkin dia harus tahu. Bahwa Ini
bukan tatapan itu. Bukan tatapan hangat yang biyasa kuberikan sebelumnya. Aku
tahu ada yang salah dengan semua hal konyol ini. Hidupku mulai bertabrakan.
“Apa kau baik-baik saja?” Dia
merapatkan wajahnya hingga berjarak sekitar dua puluh senti dari wajahku. Aku
menatapnya sekali lagi. Dia hanya tersenyum, meraih tanganku. Menggenggamnya
lebih erat. Walau aku tahu tidak ada kehangatan lagi disana. Ditempat yang
biyasa orang panggil dengan sebutan hati.
“Aku ingin kau tetap disini” Aku
membuka mulut. menunjuk ulu hatiku. Tersenyum dan memeluknya sekali lagi.
Mungkin untuk yang terakhir kalinya.
“Kau ingat ini?”Dia menunjuk
sebuah album foto hangat disana. Potret dua tahun yang lalu. Aku ingat air terjun
dingin yang membuat kulitku serasa lepuh jika mendapat cipratannya. Sedikit berlebihan
tapi aku suka membuat segalanya lebih seperti hidup. Sehari sebelumnya aku
mengenal dia. Udara dingin. Sebulan asap. Taburan bintang dan bulan separuh
diujung langit pekat yang kelam. Malam itu dengan mengenakan jaket hitam polos
tebal aku menggosokkan kedua tanganku hingga saling bergesek terus-menerus. Lalu
menghidupkan sebatang lilin yang sengaja disediakan untuk acara uji nyali malam
itu. Dengan tujuan mengobati dingin yang terus menerus menggerogoti
kulitku.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Post a Comment