Monday, January 7, 2013

LOST

             
        Aku ingin menghilang. Lebih tepatnya lenyap dari kehidupan nyataku yang penuh dengan jutaan omong kosong. Dan ini adalah pilihan terakhirku – karena aku benci diabaikan. Tapi percayalah, bukan dengan cara ini mereka harus menghukumku. Jangan disini, jangan ditempat ini. Yang mana mataku hanya menyapu pemandangan kabut diantara pohon-pohon kekar yang mulai berlumut dan terlihat sangat tua. Semak belukar dan jamur-jamur putih bertebaran seperti debu diudara. Walau bedanya, mereka hidup diatas tanah berlumpur yang sekarang menempel dengan sepatu kulit hitam seharga dua juta rupiah yang dihadiahi oleh Evan, pacar baruku . Dan aku tahu dia berbohong karena harganya sekitar dua ratus ribu rupiah dipasaran mode. Aku bersumpah akan menggugatnya. Tentu bukan Evan si mulut ular. Melainkan kepala penerbangan yang tidak bertanggung jawab hingga membuatku terlempar didalam hutan yang aku rasa sangat menyeramkan. dan aku berjanji tidak akan pernah menaiki pesawat itu lagi sampai kapanpun!.
          “Rosella” begitu kata itu terucap aku akan menoleh dan berharap mereka benar-benar memanggil namaku. Dan aku tahu itu hanya akal akalan Jenie teman sekelasku yang berusaha menyindir nama indahku yang Ia bilang tidak memiliki kreativitas tersendiri. Bahkan dia pernah mengataiku bunga bangkai karena namaku tidak seindah penampilan culunku yang terkesan norak dan “menyedihkan”, lebih buruk dari kata yang terburuk sekalipun. Jangan bayangkan Betty berkawat gigi, berambut keriting dan berkaca mata tebal untuk menggambarkanku. Aku tidak berkawat karena gigiku cukup rapi dan aku tidak memakai kaca mata tebal karena penglihatanku masih normal walau memang aku memiliki rambut keriting lebih keriting dari mie yang sangat tebal seperti sarang burung di pepohonan. Dan percayalah, aku tidak buruk rupa atau memiliki bau seperti bunga bangkai. Jenie hanya iri denganku, tentu saja dengan permainan biolaku yang memukau.
            “Kau pasti mengguna-guna Evan” Begitulah dia menyerangku . Saat dimana Jenie Menatapku dengan tajam. Aku rasa dia menggunakan kekuatan penuh karena bola matanya akan tumpah ke mejaku jika aku tidak segera menjawabnya.
            “Dengan sihir yang kupelajari di sekolah Hogwart” tiba-tiba saja kata-kata konyol itu keluar dari mulutku. Aku tahu dia akan menjambak rambutku saat itu karena kedua tangannya terlihat mengambil posisi tepat diantara kedua kepalaku..
            “KAU MEMANG BENAR BENAR GILA!” Teriaknya padaku. Telingaku hampir saja pecah karena dia berteriak sekitar dua sentimeter dari lubang telingaku. Untung saja dia tidak benar-benar menjambak rambutku karena aku yakin dia akan semakin histeris jika tahu aku belum mencucinya selama seminggu.
Jujur saja. Aku tidak tahu kenapa gadis secantik Jenie membenciku walau aku begitu aneh dan hanya memiliki keahlian tersendiri dibidang musik terutama Biola. Hingga berujung pada kebencianku karena ulahnya - karena dia selalu menginginkan semua hal yang kumiliki termasuk Evan dan permainan Biolaku.  Gadis yang kupikir lebih aneh dariku. Yah, dialah Orang Terakhir yang menjadi alasanku untuk pergi!.
--------

            Tidak ada westafel dan sebuah kaca disini. Aku tahu wajahku akan terlihat seperti mayat hidup karena aku bisa menyentuh darah segar yang mengalir di pelipis kiriku. Hanya saja aku ingin melihat penampilan yang mungkin akan sangat keren jika aku menghadiri pesta hallowen dan sejenisnya malam ini. Lagi-lagi aku mulai berpikiran konyol.
Aku merobek sebagian syal biruku untuk menutupi luka kakiku yang masih berceceran darah. Dan sebagian lagi kulilitkan dikepalaku agar darah pada pelipisku berhenti mengalir. Aku tidak pandai dalam ilmu medis, hanya meniru adegan-adegan film yang selalu memenuhi layar televisiku. Malam semakin pekat, aku berusaha menyeret kaki kiriku yang terasa sakit untuk berjalan, mungkin terkilir saat berusaha menyelamatkan diri dari badan pesawat yang membuatku terombang ambing seperti ombak di tepi pantai. Aku benci mengingatnya. Dan aku benci harus berpura-pura tegar ditengah hutan belantara sekalipun.
Aku menarik lengan bajuku agar tidak menutupi luka-luka dibagian lenganku yang mulai perih. Mengingatkanku pada sebuah jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganku. Aku hendak meliriknya sebelum tersadar bahwa jam itu mati dan tidak berfungsi lagi saat membentur kursi pesawat dengan keras, kacanya pecah hingga jarum menitnya terlepas dan terjatuh dari tempatnya. Dan tidak ada yang tahu ini pukul berapa dan sudah berapa lama aku terdampar dihutan belantara ini. Aku mulai merasakan sesuatu yang lain dalam hidupku. Hal yang berbeda, hal yang selalu kuinginkan dulu. Aku tidak berharap ini keajaiban do’aku yang lebih memilih untuk berada ditengah hutan daripada harus terus menerus menelan ludah diantara kehidupan sekolahku yang memuakkan. Ini terlalu nyata untuk beranggapan bahwa hutan adalah mimpi burukku di malam sabtu. Aku bisa merasakan dingin seperti menggerogoti pori-pori kulitku. Tidak ada air hangat atau selimut tebal yang bisa menghangatkanku malam ini. Dan entah kenapa aku tidak pintar menciptakan perapian alami di hutan gelap yang begitu pekat. Salah satu keahlian Evan yang tidak kumiliki – aku mengetahuinya tepat saat sekolah kami mengadakan kemping perayaan kemenangan sekolah pada lomba maraton seprovinsi, waktu itu persediaan penerangan kami habis – yang sampai saat ini menjadi pembentang garis pembeda antara aku dan laki laki itu –  walau sebenarnya akulah yang terlalu membeda bedakannya.
“Aku suka permainan Biolamu”  begitulah cara Evan merayuku dulu.
            “Terima kasih”
            “Kau tidak perlu menatapku dengan tatapan menuduh”
            “Bukan. Hanya saja kau laki-laki pertama....”
            “yang mengatakan itu padamu?” aku mengangguk saat itu. Hingga aku mulai terperangkap dalam kata- kata manis dari mulut bisanya yang mematikan.
            Kami resmi menjadi pasangan sejak seminggu dia memuji-muji permainan indahku. Aku tidak memiliki perasaan lebih padanya seperti kebanyakan gadis sekolahku saat berhadapan dengan pasangan mereka. Dan Aku tidak pernah berbunga-bunga setiap mendengar kata-kata romantis dari mulut Evan saat memuji paras dan penampilanku. Aku menyetujui ajakannya berkencan karena dia yang pertama, laki-laki pertama yang memuji permainanku dihadapanku. Hanya itu. Dan hal yang paling kubenci dari dia adalah karena dia tidak berbeda jauh dengan Jenie. Evan hanya memanfaatkanku untuk membujukku agar mengikuti audisi Musik tingkat Nasional di Kalimantan Barat. Dan itu rencana guru-guru sekolah untuk memamerkan nama sekolah mereka dengan memperalatku – aku suka menjadi bagian penting yang berguna bagi sekolah, tapi cara mereka yang membuatku tidak ingin – lalu mereka menyuruh Evan ketua OSIS tampan untuk mengencaniku kemudian membujukku. Dan itu berhasil, tentu bukan karena rayuan Evan  melainkan karena aku muak dengan kehidupanku di pulau jawa. Tepatnya di sekolahku. Aku berencana mengikuti audisi dan memulai hidup baruku disana – itu yang terpenting.
-------------
            Taburan Bintang dan bulan adalah penerang alami yang kumiliki malam ini. Tidak ada cahaya lain kecuali mereka. Percayalah, aku benar-benar merasakan kematian berada satu langkah dihadapanku. Aroma busuk mulai menusuk hidungku. Aku tidak berharap bau itu berasal dari bangkai manusia ataupun hewan hewan cantik yang tewas karena ulah kerakusan hewan buas. Dan Perlahan aungan serigala menyapu sekelebat malam yang terbius oleh kesunyian dan pekat – jangan lagi. Cukup bau busuk dan aungan srigala itu untuk malam ini, aku tidak siap dengan hal yang lain. Aku menarik langkahku menjauh dari bau-bau yang selalu kuhindari jika hayalanku tentang tubuh manusia atau potongan tubuh hewan adalah hal yang nyata. Dan nyaris saja aku berteriak kalau saja aku tidak pergi saat itu juga. Karena aku tidak siap menatap mayat apapun terkapar dihadapanku.
Cukup saat itu. Seekor kucing mati diemperan toko dengan isi perut yang tumpah ke aspal. Matanya terbuka, seperti merasakan kesedihan mendalam karena terlihat berkaca-kaca – entah karena pantulan lampu atau memang ada air mata yang menggenang – dan badannya sedikit gepeng. Mungkin tertindih ban mobil atau sepeda motor yang melaju cepat hingga tidak melihat keberadaan kucing yang berkeliaran di jalanan. Aku hanya merasa sedih membayangkan keluarganya yang mengira manusia terlalu jahat hingga tega membunuh seekor kucing tak berdosa. Walau itu terkesan berlebihan dan kurang masuk akal.
            “Kau mau apa?” aku memalingkan tatapanku dari kucing itu ke arah Pria di sampingku – mereka bilang pria itu adalah ayah baruku – saat itu aku menggunakan Syal biru kesayanganku yang juga melingkar sampai aku berada di hutan sekalipun. aku  hanya bisa menggelengkan kepalaku saat itu, berusaha menutupi kesedihanku lalu melangkah dengan cepat untuk menjauh dari mayat kucing tadi.
            “Kulihat kau suka memperhatikan permainan biola. Apa kau juga tertarik ingin memainkannya?” Selang beberapa waktu dia bertanya padaku tentang Biola – yah, benda itu. benda penenang yang suaranya tidak akan kulupakan sampai sekarang – tapi, saat itu aku hanya diam. Bukan berarti tidak setuju dengan ucapannya. Hanya saja aku  tidak ingin menjawab dan tidak ingin segera melangkah dari ujung pertokoan yang memamerkan berbagai alat musik di etalase. Tatapan mataku hanya melekat pada barisan Biola yang terjejer rapi disana. Aku mengagumi alat musik gesek itu. Kemudian aku menatap Ayah angkatku. Pria itu hanya tersenyum dan tidak pernah memarahiku jika aku hanya diam tanpa memberi respon apapun padanya.
Hingga beberapa saat ia memasuki toko tersebut. Aku bisa memperhatikan ayah baruku itu berbicara dengan seorang bapak bapak tua berambut putih sambil menunjuk sebuah biola mungil yang cantik. Itulah kali pertama aku memiliki sebuah biola yang dihadiahi pria itu pada ulang tahunku yang ketujuh tahun. Pria yang tidak kalah baik dengan almarhum ayah kandungku.
--------
            “Apa tidak ada yang berniat memberiku sepotong roti?” Aku menghantam tubuh salah satu pohon disampingku. Tidak ada jawaban. Aku mulai merasakan perutku yang kosong karena belum ada makanan apapun yang memasukinya kecuali segelas Latte didalam pesawat. Aku kembali menatap pohon-pohon tua bertubuh besar dan kekar disekitarku. Mereka hanya diam. Tidak peduli dengan perutku yang lapar dan terasa perih. Membuatku membenci film keren yang kusuka. Entah kenapa mereka membohongiku dengan menciptakan pohon yang mampu berbicara dengan bahasa manusia. Dengan berbagai suara beserta mata, hidung, tangan kaki dan sebagainya. Apa mereka sengaja merencanakan hal itu untuk mengelabuiku. Atau mungkin pohon-pohon itu yang pura-pura tidak melihatku karena aku tidak cantik. Masa bodoh. Untuk apa mereka sibuk memikirkan gadis aneh sepertiku, itu akan membuat pemikiran mereka menjamur dan buntu.
Hening. Perlahan aku mendengar gesekan dedaunan dan semak dari kejauhan yang semakin lama terasa semakin mendekat. Aku tidak berharap ada sebuah Ular phyton raksasa atau anaconda dan sejenisnya. Apalagi jika pepohonan diatasku mengeluarkan tangan dan kakinya untuk melemparku dari sini. Rasanya ini lebih menyeramkan. Mungkin ini alasan penulis naskah film atau novel-novel berbohong karena jika itu semua nyata aku yakin jantungku akan berhenti berdetak dititik ini saja. Gesekan-gesekan itu semakin jelas menghembus didaun telingaku. Angin sepertinya sudah menyerah dan membiarkan dedaunan dan semak mengeluarkan suara dengan sendirinya. Ini mustahil, kenapa wajah Srigala dan harimau mulai bermunculan dikepalaku. Aku tidak mau mati konyol dengan setengah badan yang hilang karena dimangsa sekawanan binatang buas itu. Kalaupun itu srigala, harapanku hanya semoga mereka adalah hewan jadi-jadian seperti Jacob, tokoh cerita novel Twilight yang kukagumi.
            “Apa kau baik baik saja?” yah, Aku tahu itu suara manusia. Aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aku yakin semua khayalan burukku itu hanya omong kosong. Aku memutar tubuhku untuk melihat pemilik suara yang menghawatirkan keadaanku. Hampir saja aku terlonjak. Jangan menanyakan apapun kali ini. Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya atau berlari dari tempat ini secepat mungkin. Tapi aku merasakan tubuhku yang kaku seperti ada lem kayu yang membuat sepatuku dan tanah melekat dengan kuat. Jantungku mengadakan lomba maraton dadakan kali ini, membuat nafasku memburu tak beraturan hingga rasanya aku ingin menangis. Aku tahu aku tidak bisa lagi berpura pura tegar dalam keadaan seperti ini. Entah mengapa manusia itu bertubuh kekar tanpa tangan, melainkan memiliki empat kaki dan satu ekor di ujung badannya. Kulitnya berwarna cokelat muda berpadu dengan belang-belang cokelat tua yang indah. Hanya saja aku berubah pikiran tentang menganggap dirinya adalah manusia. Dia lebih terlihat seperti seekor harimau buas. Kau tahu, rasanya aku siap mati ditangannya kali ini. Aku tahu mahluk itu tidak sabar ingin menyantap makan malamnya. Aku bisa melihat air liurnya yang menetes dari gigi-gigi tajam yang bertaring karena mulutnya terbuka lebar dan terus mengaum dengan bahasa yang tidak kumengerti. Hingga perlahan aku hanya merasakan tubuhku lunglai dan kepalaku terasa berat lalu gelap, ini pasti kematianku. Walau samar aku menatap wajah Raka adik laki-lakiku melambaikan tangannya kearahku. Tapi perlahan hanya tersisa pekat dan kelam.
            “Kau harus pergi Ros” Raka menarik-narik ujung rokku yang jatuh diatas lutut. Sekitar seminggu yang lalu.
            “ya, aku akan pergi” ujarku dengan sebuah senyuman.
            “Bawakan kabar gembira untukku”
            “iya”
            “janji?”
            “janji.” Jari kelingking kami bertemu. Seperti menandakan perjanjian resmi antara aku dan Raka, adik laki-lakiku. Satu-satunya keluarga yang kumiliki sejak aku diasuh oleh Orang tua angkat kami di Jakarta. Dia Orang pertama yang selalu senang mendengar permainan biolaku walau itu sederhana. Satu-satunya pendukungku yang paling setia untuk mendalami dunia musik. Dia ingin aku menjadi pebiola handal dan bisa bersekolah di Juilliard. Benar-benar keinginan yang konyol. Tapi aku akan melakukan apapun untuk membahagiakannya, termasuk mengejar beasiswa disekolah bergengsi diseluruh dunia. Dan mengikuti lomba di Kalimantan adalah jalur pertama untuk mengenalkan permainan biolaku. Aku tahu aku bisa memenangkan lomba ini dan memberikan kabar gembira untuknya.
Namun rasanya terlalu berbeda saat kau harus kehilangan kesempatan untuk menang dan bahagia tanpa sekolah yang memuakkan. Awalnya aku berharap bisa segera memulai hidup baruku dipulau lain, tapi aku rasa aku seikit berhasil. Karena aku melihat tanda-tanda pesawat yang mengudara sekitar ber jam-jam menandakan keberadaannya yang semakin menjauh dari jakarta – kota pertama yang kujamah sebelum pesawat lepas landas dari bandara Soekarno Hatta. Itu tidak berlangsung lama, senyumku. Pesawat itu malah bermain-main seperti mainan helikopter Raka jika Ia marah dan melempar remote control-nya ke tanah. Helikopter yang berputar-putar tak keruan diudara lalu jatuh begitu saja hingga baling-balingnya patah. Dan pesawat yang kunaiki mengalami hal yang tidak jauh berbeda. Aku beruntung tubuhku hanya terombang-ambing menghantam badan pesawat hingga terpelanting kesamping pintu, membuka jalan lain untuk menyelamatkan diri dari peristiwa tersebut. Aku tahu Tuhan menyayangiku – seperti pada saat Ia menyelamatkanku dari peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam. Memberiku kesempatan untuk tetap menggesek biolaku dan menjaga Raka tanpa mengeluh. Aku rasa aku kurang bersyukur dengan hidupku, sekolahku, hingga harus menerima kecelakaan yang menewaskan banyak korban. Aku tidak berharap lebih dari sebuah keselamatan di hutan yang rasanya malah membuka pintu kematian untukku.
--------
            Samar-samar aku mendengar seseorang membacakan sebuah mantra dengan bahasa aneh diatas tubuhku. Seperti suara nenekku saat mengoceh dengan bahasa jawa kentalnya jika menghawatirkan kami – aku dan Raka. Aku membuka mataku dengan sekejap, tidak bermaksud ingin menakuti nenek tadi, walau aku tahu dia sempat terlonjak dan setengah berteriak. Aku hanya ingin melihat dengan jelas rupa nenek yang memantraiku itu. Tapi dia malah berlari entah kemana. Aku mengikutinya hingga keluar dari pintu rumah berkayu yang menjadi tempatku berbaring. Segerombolan Orang aneh berkeliaran dihadapanku, Mereka terlihat seperti suku dayak yang biyasa kutemui di layar televisi. Cara berpakaian mereka dan bahasa aneh mereka cukup memberiku sebuah kesimpulan. Aku juga tidak siap jika harus menjadi salah satu dari mereka ataupun harus menjadi Istri dadakan sang tetuah atau apalah panggilan untuk ketua suku mereka. Hal yang sering terjadi di adegan film jika harus tersesat di kehidupan suku ditengah hutan belantara – Jika aku tidak berlebihan.
Satu satunya cara adalah melarikan diri.
Begitulah keputusanku hingga aku harus menyusuri hutan dan meninggalkan desa itu secara diam diam. Semoga saja itu bukan keputusan yang membawa dampak buruk untukku. Selang beberapa waktu aku melihat Harimau yang menyerangku semalam, aku kira dia benar benar memangsaku. Tapi aku menyimpulkan hal lain kali ini, saat melihat rantai besi melingkar dilehernya dan membentuk ikatan kuat dengan sebuah pohon besar ditengah desa tersebut. Harimau itu adalah hewan peliharaan mereka, dan aku yakin aku benar benar mendengar suara manusia tadi malam. Mereka menyelamatkanku, sungguh tidak tahu terima kasih jika aku meninggalkan tempat ini tanpa sekedar mengucapkan kata terima kasih atau salam selamat tinggal. Walaupun pikiran itu terlintas dalam otakku, aku rasa aku lebih memilih pergi daripada harus menjadi santapan harimau mereka karena menolak menikahi salah satu pria disuku tersebut. Itulah mengapa aku begitu aneh dan terdengar gila.
Aku berniat berlari dengan cepat hingga tanpa sadar aku seperti terjun dan – Gelap. Aku pikir aku akan merasa mati untuk yang kesekian kalinya. Tubuhku sakit, aku terjatuh dan sempat sadar saat tubuhku berguling-guling dengan waktu yang cukup lama hingga membentur akar pohon yang besar. Ini yang terakhir setelah peristiwa yang bertubu-tubi. Ini setimpal dengan diriku yang selalu melarikan diri dari kenyataan. Sekarang aku hanya pasrah dan membiarkan semua berjalan semestinya, Dan jika aku mati – aku siap untuk detik ini.
            “Mom, apa kau bisa menyuruh Raka diam? Aku tidak mendengar suara biola itu”
            “Ayolah sayang, biarkan kakakmu menikmati suara cantik itu!” Ibu menggendong Raka dan membuatkan sebotol susu untuknya – Raka masih berumur tiga tahun saat itu – untuk membuatnya diam.
            “Hey princess, aku akan membelikanmu sebuah biola di ulang tahunmu september nanti” Aku merasakan kecupan Ayah dikeningku. Aku senang mendengar ucapannya, ditambah september sudah tinggal enam hari lagi – aku akan memasuki sekolah baruku – dan akupun genap enam tahun. Sesuatu yang selalu kutunggu.
            “Jangan membuat janji yang tidak akan kau tepati” Suara Ibu terdengar tenang saat itu. aku sempat menoleh melihat punggung ayah mendekati Ibu, Ayah mencium pipi ibu dan Raka. Lalu menghilang dari balik pintu – samar-samar bayang kenangan itu seperti menjauh dariku. Hanya ada gelap dan sebuah kursi yang kududuki, aku sendirian. Suara gesekan Biola bertubu-tubi merasuk kegendang telingaku, awalnya keras lalu terdengar semakin menjauh lalu hilang. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, hanya merasakan dingin dan detak jantungku yang semakin lambat, hingga hanya tersisa sebuah sepi.
-----------
            Aku rasa aku sudah mati.
            Aku membuka mataku. Semburat cahaya menyilaukan pandangannya. Perlahan aku merasakan aroma dedaunan mulai berguguran menyentuh wajahku satu-persatu. Apa aku berada di surga? – seperti menatap cahaya keperakan bernuansa musim gugur yang mempesona. Ini indah, aku tidak pernah menyangka bahwa kematian akan menyisakan sebuah ketenangan dan bukan kegelapan yang begitu pekat. Mungkin benar kata Evan bahwa orang tuaku akan tersenyum menyaksikan permainan biolaku yang begitu indah. Dan dia berkata bahwa ditiap gesekan  biolaku yang mengeluarkan nada-nada bahagia adalah rasa cinta yang mengembus dari hatiku untuk mereka – sisi indah dari Evan – walau aku berharap mereka selalu merasa tenang disana, di tempat yang semestinya.
            Saat itu hujan. Aku tidak percaya suasana gembira dalam taksi biru yang membawa kami kebandara hancur saat menabrak pembatas jalan hingga terpelanting. Raka tidak bersama kami saat itu – Dia berada di jawa tengah bersama nenek kami – Aku hanya samar melihat sebulan asap dari taksi yang kami naiki. Seorang bapak-bapak dengan jas hitam dan dasi hitam menarikku dari dalam mobil – aku tidak sempat menanyakan namanya karena merasa sangat letih. Bapak itu menggendong tubuhku semakin jauh dari Ayah, Ibu dan taksi itu. Hanya menyisakan suara ledakan yang masih terngiang di telingaku hingga saat ini. Dan aku mendengar kabar kepergian mereka begitu saja. Sepuluh tahun yang lalu, saat aku berumur enam tahun sebagai satu korban yang selamat dari tragedi itu.
            “Apa kau baik baik saja?” ternyata aku mampu mendengar suara roh lainnya disini. Aku tahu aku tidak akan sendirian karena banyak roh bertebaran di tempat ini. Apa mungkin aku harus menanyakan keberadaan orang tuaku padanya?, aku rasa tidak ada salahnya jika aku bisa menemukan orang tuaku lagi.
Aku berusaha duduk dan menatap pemilik suara itu. aku tersenyum sambil menatap seragam putih putihnya yang begitu bersih. Aku tidak percaya saat matipun rohku akan bertemu dengan dokter, atau memang setiap roh harus menjalani pemeriksaan terlebih dahulu untuk resmi berada didunia roh? – aku harap memang begitu.
            “Kami akan membawamu kembali, beruntung kau selamat dari kecelakaan pesawat yang menewaskan banyak korban itu” – begitulah perkataan terakhir dokter yang kukira adalah roh yang sama denganku. Aku rasa aku salah lagi tentang kematianku ditengah hutan belantara. Yah, aku sangat bersyukur aku masih memiliki kesempatan untuk bermain biola dan menyentuh Raka dengan jasadku yang nyata.
Aku belum mati, itu yang terpenting.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Post a Comment