Aku
ingin menghilang. Lebih tepatnya lenyap dari kehidupan nyataku yang penuh
dengan jutaan omong kosong. Dan ini adalah pilihan terakhirku – karena aku
benci diabaikan. Tapi
percayalah, bukan dengan cara ini mereka harus menghukumku. Jangan disini, jangan
ditempat ini. Yang mana mataku hanya menyapu pemandangan kabut diantara pohon-pohon
kekar yang mulai berlumut dan terlihat sangat tua. Semak belukar dan jamur-jamur
putih bertebaran seperti debu diudara. Walau bedanya, mereka hidup diatas tanah
berlumpur yang sekarang menempel dengan sepatu kulit hitam seharga dua juta
rupiah yang dihadiahi oleh Evan, pacar baruku . Dan aku tahu dia berbohong
karena harganya sekitar dua ratus ribu rupiah dipasaran mode. Aku bersumpah
akan menggugatnya. Tentu bukan Evan si mulut ular. Melainkan kepala penerbangan
yang tidak bertanggung jawab hingga membuatku terlempar didalam hutan yang aku
rasa sangat menyeramkan. dan aku berjanji tidak akan pernah menaiki pesawat itu
lagi sampai kapanpun!.
“Rosella” begitu
kata itu terucap aku akan menoleh dan berharap mereka benar-benar memanggil
namaku. Dan aku tahu itu hanya akal akalan Jenie teman sekelasku yang berusaha
menyindir nama indahku yang Ia bilang tidak memiliki kreativitas tersendiri.
Bahkan dia pernah mengataiku bunga bangkai karena namaku tidak seindah
penampilan culunku yang terkesan norak dan “menyedihkan”, lebih buruk dari kata
yang terburuk sekalipun. Jangan bayangkan Betty berkawat gigi, berambut
keriting dan berkaca mata tebal untuk menggambarkanku. Aku tidak berkawat
karena gigiku cukup rapi dan aku tidak memakai kaca mata tebal karena
penglihatanku masih normal walau memang aku memiliki rambut keriting lebih
keriting dari mie yang sangat tebal seperti sarang burung di pepohonan. Dan
percayalah, aku tidak buruk rupa atau memiliki bau seperti bunga bangkai. Jenie
hanya iri denganku, tentu saja dengan permainan biolaku yang memukau.
“Kau pasti
mengguna-guna Evan” Begitulah dia menyerangku . Saat dimana Jenie Menatapku
dengan tajam. Aku rasa dia menggunakan kekuatan penuh karena bola matanya akan
tumpah ke mejaku jika aku tidak segera menjawabnya.
“Dengan sihir yang
kupelajari di sekolah Hogwart” tiba-tiba saja kata-kata konyol itu keluar dari
mulutku. Aku tahu dia akan menjambak rambutku saat itu karena kedua tangannya
terlihat mengambil posisi tepat diantara kedua kepalaku..
“KAU MEMANG BENAR
BENAR GILA!” Teriaknya padaku. Telingaku hampir saja pecah karena dia berteriak
sekitar dua sentimeter dari lubang telingaku. Untung saja dia tidak benar-benar
menjambak rambutku karena aku yakin dia akan semakin histeris jika tahu aku
belum mencucinya selama seminggu.
Jujur saja. Aku tidak tahu kenapa gadis secantik Jenie membenciku
walau aku begitu aneh dan hanya memiliki keahlian tersendiri dibidang musik
terutama Biola. Hingga berujung pada kebencianku karena ulahnya - karena dia
selalu menginginkan semua hal yang kumiliki termasuk Evan dan permainan
Biolaku. Gadis yang kupikir lebih aneh
dariku. Yah, dialah Orang Terakhir yang menjadi alasanku untuk pergi!.
--------
Tidak ada westafel
dan sebuah kaca disini. Aku tahu wajahku akan terlihat seperti mayat hidup
karena aku bisa menyentuh darah segar yang mengalir di pelipis kiriku. Hanya
saja aku ingin melihat penampilan yang mungkin akan sangat keren jika aku
menghadiri pesta hallowen dan sejenisnya malam ini. Lagi-lagi aku mulai berpikiran
konyol.
Aku merobek sebagian syal biruku untuk menutupi luka kakiku yang
masih berceceran darah. Dan sebagian lagi kulilitkan dikepalaku agar darah pada
pelipisku berhenti mengalir. Aku tidak pandai dalam ilmu medis, hanya meniru
adegan-adegan film yang selalu memenuhi layar televisiku. Malam semakin pekat,
aku berusaha menyeret kaki kiriku yang terasa sakit untuk berjalan, mungkin
terkilir saat berusaha menyelamatkan diri dari badan pesawat yang membuatku
terombang ambing seperti ombak di tepi pantai. Aku benci mengingatnya. Dan aku
benci harus berpura-pura tegar ditengah hutan belantara sekalipun.
Aku menarik lengan bajuku agar tidak menutupi luka-luka dibagian
lenganku yang mulai perih. Mengingatkanku pada sebuah jam tangan yang melingkar
dipergelangan tanganku. Aku hendak meliriknya sebelum tersadar bahwa jam itu
mati dan tidak berfungsi lagi saat membentur kursi pesawat dengan keras,
kacanya pecah hingga jarum menitnya terlepas dan terjatuh dari tempatnya. Dan
tidak ada yang tahu ini pukul berapa dan sudah berapa lama aku terdampar
dihutan belantara ini. Aku mulai merasakan sesuatu yang lain dalam hidupku. Hal
yang berbeda, hal yang selalu kuinginkan dulu. Aku tidak berharap ini keajaiban
do’aku yang lebih memilih untuk berada ditengah hutan daripada harus terus menerus
menelan ludah diantara kehidupan sekolahku yang memuakkan. Ini terlalu nyata
untuk beranggapan bahwa hutan adalah mimpi burukku di malam sabtu. Aku bisa
merasakan dingin seperti menggerogoti pori-pori kulitku. Tidak ada air hangat
atau selimut tebal yang bisa menghangatkanku malam ini. Dan entah kenapa aku
tidak pintar menciptakan perapian alami di hutan gelap yang begitu pekat. Salah
satu keahlian Evan yang tidak kumiliki – aku mengetahuinya tepat saat sekolah
kami mengadakan kemping perayaan kemenangan sekolah pada lomba maraton
seprovinsi, waktu itu persediaan penerangan kami habis – yang sampai saat ini
menjadi pembentang garis pembeda antara aku dan laki laki itu – walau sebenarnya akulah yang terlalu membeda
bedakannya.
“Aku suka permainan Biolamu”
begitulah cara Evan merayuku dulu.
“Terima kasih”
“Kau tidak perlu
menatapku dengan tatapan menuduh”
“Bukan. Hanya saja
kau laki-laki pertama....”
“yang mengatakan
itu padamu?” aku mengangguk saat itu. Hingga aku mulai terperangkap dalam kata-
kata manis dari mulut bisanya yang mematikan.
Kami resmi menjadi
pasangan sejak seminggu dia memuji-muji permainan indahku. Aku tidak memiliki
perasaan lebih padanya seperti kebanyakan gadis sekolahku saat berhadapan
dengan pasangan mereka. Dan Aku tidak pernah berbunga-bunga setiap mendengar
kata-kata romantis dari mulut Evan saat memuji paras dan penampilanku. Aku
menyetujui ajakannya berkencan karena dia yang pertama, laki-laki pertama yang
memuji permainanku dihadapanku. Hanya itu. Dan hal yang paling kubenci dari dia
adalah karena dia tidak berbeda jauh dengan Jenie. Evan hanya memanfaatkanku
untuk membujukku agar mengikuti audisi Musik tingkat Nasional di Kalimantan
Barat. Dan itu rencana guru-guru sekolah untuk memamerkan nama sekolah mereka
dengan memperalatku – aku suka menjadi bagian penting yang berguna bagi
sekolah, tapi cara mereka yang membuatku tidak ingin – lalu mereka menyuruh
Evan ketua OSIS tampan untuk mengencaniku kemudian membujukku. Dan itu
berhasil, tentu bukan karena rayuan Evan melainkan karena aku muak dengan kehidupanku
di pulau jawa. Tepatnya di sekolahku. Aku berencana mengikuti audisi dan
memulai hidup baruku disana – itu yang terpenting.
-------------
Taburan Bintang dan
bulan adalah penerang alami yang kumiliki malam ini. Tidak ada cahaya lain
kecuali mereka. Percayalah, aku benar-benar merasakan kematian berada satu
langkah dihadapanku. Aroma busuk mulai menusuk hidungku. Aku tidak berharap bau
itu berasal dari bangkai manusia ataupun hewan hewan cantik yang tewas karena
ulah kerakusan hewan buas. Dan Perlahan aungan serigala menyapu sekelebat malam
yang terbius oleh kesunyian dan pekat – jangan lagi. Cukup bau busuk dan aungan
srigala itu untuk malam ini, aku tidak siap dengan hal yang lain. Aku menarik
langkahku menjauh dari bau-bau yang selalu kuhindari jika hayalanku tentang
tubuh manusia atau potongan tubuh hewan adalah hal yang nyata. Dan nyaris saja
aku berteriak kalau saja aku tidak pergi saat itu juga. Karena aku tidak siap
menatap mayat apapun terkapar dihadapanku.
Cukup saat itu. Seekor kucing mati diemperan toko dengan isi perut
yang tumpah ke aspal. Matanya terbuka, seperti merasakan kesedihan mendalam
karena terlihat berkaca-kaca – entah karena pantulan lampu atau memang ada air
mata yang menggenang – dan badannya sedikit gepeng. Mungkin tertindih ban mobil
atau sepeda motor yang melaju cepat hingga tidak melihat keberadaan kucing yang
berkeliaran di jalanan. Aku hanya merasa sedih membayangkan keluarganya yang
mengira manusia terlalu jahat hingga tega membunuh seekor kucing tak berdosa.
Walau itu terkesan berlebihan dan kurang masuk akal.
“Kau mau apa?” aku
memalingkan tatapanku dari kucing itu ke arah Pria di sampingku – mereka bilang
pria itu adalah ayah baruku – saat itu aku menggunakan Syal biru kesayanganku
yang juga melingkar sampai aku berada di hutan sekalipun. aku hanya bisa menggelengkan kepalaku saat itu,
berusaha menutupi kesedihanku lalu melangkah dengan cepat untuk menjauh dari mayat
kucing tadi.
“Kulihat kau suka
memperhatikan permainan biola. Apa kau juga tertarik ingin memainkannya?” Selang
beberapa waktu dia bertanya padaku tentang Biola – yah, benda itu. benda
penenang yang suaranya tidak akan kulupakan sampai sekarang – tapi, saat itu aku
hanya diam. Bukan berarti tidak setuju dengan ucapannya. Hanya saja aku tidak ingin menjawab dan tidak ingin segera
melangkah dari ujung pertokoan yang memamerkan berbagai alat musik di etalase. Tatapan
mataku hanya melekat pada barisan Biola yang terjejer rapi disana. Aku
mengagumi alat musik gesek itu. Kemudian aku menatap Ayah angkatku. Pria itu
hanya tersenyum dan tidak pernah memarahiku jika aku hanya diam tanpa memberi
respon apapun padanya.
Hingga beberapa saat ia memasuki toko tersebut. Aku bisa
memperhatikan ayah baruku itu berbicara dengan seorang bapak bapak tua berambut
putih sambil menunjuk sebuah biola mungil yang cantik. Itulah kali pertama aku
memiliki sebuah biola yang dihadiahi pria itu pada ulang tahunku yang ketujuh
tahun. Pria yang tidak kalah baik dengan almarhum ayah kandungku.
--------
“Apa tidak ada
yang berniat memberiku sepotong roti?” Aku menghantam tubuh salah satu pohon
disampingku. Tidak ada jawaban. Aku mulai merasakan perutku yang kosong karena
belum ada makanan apapun yang memasukinya kecuali segelas Latte didalam
pesawat. Aku kembali menatap pohon-pohon tua bertubuh besar dan kekar
disekitarku. Mereka hanya diam. Tidak peduli dengan perutku yang lapar dan
terasa perih. Membuatku membenci film keren yang kusuka. Entah kenapa mereka
membohongiku dengan menciptakan pohon yang mampu berbicara dengan bahasa
manusia. Dengan berbagai suara beserta mata, hidung, tangan kaki dan
sebagainya. Apa mereka sengaja merencanakan hal itu untuk mengelabuiku. Atau
mungkin pohon-pohon itu yang pura-pura tidak melihatku karena aku tidak cantik.
Masa bodoh. Untuk apa mereka sibuk memikirkan gadis aneh sepertiku, itu akan
membuat pemikiran mereka menjamur dan buntu.
Hening. Perlahan aku mendengar gesekan dedaunan dan semak dari
kejauhan yang semakin lama terasa semakin mendekat. Aku tidak berharap ada
sebuah Ular phyton raksasa atau anaconda dan sejenisnya. Apalagi jika pepohonan
diatasku mengeluarkan tangan dan kakinya untuk melemparku dari sini. Rasanya
ini lebih menyeramkan. Mungkin ini alasan penulis naskah film atau novel-novel berbohong
karena jika itu semua nyata aku yakin jantungku akan berhenti berdetak dititik
ini saja. Gesekan-gesekan itu semakin jelas menghembus didaun telingaku. Angin
sepertinya sudah menyerah dan membiarkan dedaunan dan semak mengeluarkan suara
dengan sendirinya. Ini mustahil, kenapa wajah Srigala dan harimau mulai
bermunculan dikepalaku. Aku tidak mau mati konyol dengan setengah badan yang
hilang karena dimangsa sekawanan binatang buas itu. Kalaupun itu srigala,
harapanku hanya semoga mereka adalah hewan jadi-jadian seperti Jacob, tokoh
cerita novel Twilight yang kukagumi.
“Apa kau baik baik
saja?” yah, Aku tahu itu suara manusia. Aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aku
yakin semua khayalan burukku itu hanya omong kosong. Aku memutar tubuhku untuk
melihat pemilik suara yang menghawatirkan keadaanku. Hampir saja aku terlonjak.
Jangan menanyakan apapun kali ini. Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya atau
berlari dari tempat ini secepat mungkin. Tapi aku merasakan tubuhku yang kaku
seperti ada lem kayu yang membuat sepatuku dan tanah melekat dengan kuat.
Jantungku mengadakan lomba maraton dadakan kali ini, membuat nafasku memburu
tak beraturan hingga rasanya aku ingin menangis. Aku tahu aku tidak bisa lagi
berpura pura tegar dalam keadaan seperti ini. Entah mengapa manusia itu
bertubuh kekar tanpa tangan, melainkan memiliki empat kaki dan satu ekor di
ujung badannya. Kulitnya berwarna cokelat muda berpadu dengan belang-belang
cokelat tua yang indah. Hanya saja aku berubah pikiran tentang menganggap
dirinya adalah manusia. Dia lebih terlihat seperti seekor harimau buas. Kau
tahu, rasanya aku siap mati ditangannya kali ini. Aku tahu mahluk itu tidak
sabar ingin menyantap makan malamnya. Aku bisa melihat air liurnya yang menetes
dari gigi-gigi tajam yang bertaring karena mulutnya terbuka lebar dan terus
mengaum dengan bahasa yang tidak kumengerti. Hingga perlahan aku hanya
merasakan tubuhku lunglai dan kepalaku terasa berat lalu gelap, ini pasti
kematianku. Walau samar aku menatap wajah Raka adik laki-lakiku melambaikan
tangannya kearahku. Tapi perlahan hanya tersisa pekat dan kelam.
“Kau harus pergi
Ros” Raka menarik-narik ujung rokku yang jatuh diatas lutut. Sekitar seminggu
yang lalu.
“ya, aku akan
pergi” ujarku dengan sebuah senyuman.
“Bawakan kabar
gembira untukku”
“iya”
“janji?”
“janji.” Jari
kelingking kami bertemu. Seperti menandakan perjanjian resmi antara aku dan
Raka, adik laki-lakiku. Satu-satunya keluarga yang kumiliki sejak aku diasuh
oleh Orang tua angkat kami di Jakarta. Dia Orang pertama yang selalu senang
mendengar permainan biolaku walau itu sederhana. Satu-satunya pendukungku yang
paling setia untuk mendalami dunia musik. Dia ingin aku menjadi pebiola handal
dan bisa bersekolah di Juilliard. Benar-benar keinginan yang konyol. Tapi aku
akan melakukan apapun untuk membahagiakannya, termasuk mengejar beasiswa
disekolah bergengsi diseluruh dunia. Dan mengikuti lomba di Kalimantan adalah
jalur pertama untuk mengenalkan permainan biolaku. Aku tahu aku bisa
memenangkan lomba ini dan memberikan kabar gembira untuknya.
Namun rasanya terlalu berbeda saat kau harus kehilangan kesempatan
untuk menang dan bahagia tanpa sekolah yang memuakkan. Awalnya aku berharap
bisa segera memulai hidup baruku dipulau lain, tapi aku rasa aku seikit berhasil.
Karena aku melihat tanda-tanda pesawat yang mengudara sekitar ber jam-jam
menandakan keberadaannya yang semakin menjauh dari jakarta – kota pertama yang
kujamah sebelum pesawat lepas landas dari bandara Soekarno Hatta. Itu tidak
berlangsung lama, senyumku. Pesawat itu malah bermain-main seperti mainan
helikopter Raka jika Ia marah dan melempar remote control-nya ke tanah.
Helikopter yang berputar-putar tak keruan diudara lalu jatuh begitu saja hingga
baling-balingnya patah. Dan pesawat yang kunaiki mengalami hal yang tidak jauh berbeda.
Aku beruntung tubuhku hanya terombang-ambing menghantam badan pesawat hingga
terpelanting kesamping pintu, membuka jalan lain untuk menyelamatkan diri dari
peristiwa tersebut. Aku tahu Tuhan menyayangiku – seperti pada saat Ia
menyelamatkanku dari peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam. Memberiku
kesempatan untuk tetap menggesek biolaku dan menjaga Raka tanpa mengeluh. Aku
rasa aku kurang bersyukur dengan hidupku, sekolahku, hingga harus menerima
kecelakaan yang menewaskan banyak korban. Aku tidak berharap lebih dari sebuah
keselamatan di hutan yang rasanya malah membuka pintu kematian untukku.
--------
Samar-samar aku
mendengar seseorang membacakan sebuah mantra dengan bahasa aneh diatas tubuhku.
Seperti suara nenekku saat mengoceh dengan bahasa jawa kentalnya jika menghawatirkan
kami – aku dan Raka. Aku membuka mataku dengan sekejap, tidak bermaksud ingin
menakuti nenek tadi, walau aku tahu dia sempat terlonjak dan setengah
berteriak. Aku hanya ingin melihat dengan jelas rupa nenek yang memantraiku
itu. Tapi dia malah berlari entah kemana. Aku mengikutinya hingga keluar dari
pintu rumah berkayu yang menjadi tempatku berbaring. Segerombolan Orang aneh
berkeliaran dihadapanku, Mereka terlihat seperti suku dayak yang biyasa kutemui
di layar televisi. Cara berpakaian mereka dan bahasa aneh mereka cukup
memberiku sebuah kesimpulan. Aku juga tidak siap jika harus menjadi salah satu
dari mereka ataupun harus menjadi Istri dadakan sang tetuah atau apalah
panggilan untuk ketua suku mereka. Hal yang sering terjadi di adegan film jika
harus tersesat di kehidupan suku ditengah hutan belantara – Jika aku tidak
berlebihan.
Satu satunya cara adalah melarikan diri.
Begitulah keputusanku hingga aku harus menyusuri hutan dan
meninggalkan desa itu secara diam diam. Semoga saja itu bukan keputusan yang
membawa dampak buruk untukku. Selang beberapa waktu aku melihat Harimau yang
menyerangku semalam, aku kira dia benar benar memangsaku. Tapi aku menyimpulkan
hal lain kali ini, saat melihat rantai besi melingkar dilehernya dan membentuk
ikatan kuat dengan sebuah pohon besar ditengah desa tersebut. Harimau itu
adalah hewan peliharaan mereka, dan aku yakin aku benar benar mendengar suara
manusia tadi malam. Mereka menyelamatkanku, sungguh tidak tahu terima kasih jika
aku meninggalkan tempat ini tanpa sekedar mengucapkan kata terima kasih atau
salam selamat tinggal. Walaupun pikiran itu terlintas dalam otakku, aku rasa
aku lebih memilih pergi daripada harus menjadi santapan harimau mereka karena
menolak menikahi salah satu pria disuku tersebut. Itulah mengapa aku begitu
aneh dan terdengar gila.
Aku berniat berlari dengan cepat hingga tanpa sadar aku seperti
terjun dan – Gelap. Aku pikir aku akan merasa mati untuk yang kesekian kalinya.
Tubuhku sakit, aku terjatuh dan sempat sadar saat tubuhku berguling-guling
dengan waktu yang cukup lama hingga membentur akar pohon yang besar. Ini yang
terakhir setelah peristiwa yang bertubu-tubi. Ini setimpal dengan diriku yang
selalu melarikan diri dari kenyataan. Sekarang aku hanya pasrah dan membiarkan
semua berjalan semestinya, Dan jika aku mati – aku siap untuk detik ini.
“Mom, apa kau bisa
menyuruh Raka diam? Aku tidak mendengar suara biola itu”
“Ayolah sayang,
biarkan kakakmu menikmati suara cantik itu!” Ibu menggendong Raka dan membuatkan
sebotol susu untuknya – Raka masih berumur tiga tahun saat itu – untuk
membuatnya diam.
“Hey princess, aku
akan membelikanmu sebuah biola di ulang tahunmu september nanti” Aku merasakan
kecupan Ayah dikeningku. Aku senang mendengar ucapannya, ditambah september
sudah tinggal enam hari lagi – aku akan memasuki sekolah baruku – dan akupun
genap enam tahun. Sesuatu yang selalu kutunggu.
“Jangan membuat
janji yang tidak akan kau tepati” Suara Ibu terdengar tenang saat itu. aku
sempat menoleh melihat punggung ayah mendekati Ibu, Ayah mencium pipi ibu dan
Raka. Lalu menghilang dari balik pintu – samar-samar bayang kenangan itu
seperti menjauh dariku. Hanya ada gelap dan sebuah kursi yang kududuki, aku
sendirian. Suara gesekan Biola bertubu-tubi merasuk kegendang telingaku,
awalnya keras lalu terdengar semakin menjauh lalu hilang. Aku tidak tahu apa
yang sebenarnya terjadi, hanya merasakan dingin dan detak jantungku yang
semakin lambat, hingga hanya tersisa sebuah sepi.
-----------
Aku rasa aku sudah
mati.
Aku membuka
mataku. Semburat cahaya menyilaukan pandangannya. Perlahan aku merasakan aroma
dedaunan mulai berguguran menyentuh wajahku satu-persatu. Apa aku berada di
surga? – seperti menatap cahaya keperakan bernuansa musim gugur yang mempesona.
Ini indah, aku tidak pernah menyangka bahwa kematian akan menyisakan sebuah
ketenangan dan bukan kegelapan yang begitu pekat. Mungkin benar kata Evan bahwa
orang tuaku akan tersenyum menyaksikan permainan biolaku yang begitu indah. Dan
dia berkata bahwa ditiap gesekan biolaku
yang mengeluarkan nada-nada bahagia adalah rasa cinta yang mengembus dari
hatiku untuk mereka – sisi indah dari Evan – walau aku berharap mereka selalu
merasa tenang disana, di tempat yang semestinya.
Saat itu hujan.
Aku tidak percaya suasana gembira dalam taksi biru yang membawa kami kebandara
hancur saat menabrak pembatas jalan hingga terpelanting. Raka tidak bersama
kami saat itu – Dia berada di jawa tengah bersama nenek kami – Aku hanya samar
melihat sebulan asap dari taksi yang kami naiki. Seorang bapak-bapak dengan jas
hitam dan dasi hitam menarikku dari dalam mobil – aku tidak sempat menanyakan
namanya karena merasa sangat letih. Bapak itu menggendong tubuhku semakin jauh
dari Ayah, Ibu dan taksi itu. Hanya menyisakan suara ledakan yang masih
terngiang di telingaku hingga saat ini. Dan aku mendengar kabar kepergian
mereka begitu saja. Sepuluh tahun yang lalu, saat aku berumur enam tahun
sebagai satu korban yang selamat dari tragedi itu.
“Apa kau baik baik
saja?” ternyata aku mampu mendengar suara roh lainnya disini. Aku tahu aku
tidak akan sendirian karena banyak roh bertebaran di tempat ini. Apa mungkin
aku harus menanyakan keberadaan orang tuaku padanya?, aku rasa tidak ada
salahnya jika aku bisa menemukan orang tuaku lagi.
Aku berusaha duduk dan menatap pemilik suara itu. aku tersenyum
sambil menatap seragam putih putihnya yang begitu bersih. Aku tidak percaya
saat matipun rohku akan bertemu dengan dokter, atau memang setiap roh harus
menjalani pemeriksaan terlebih dahulu untuk resmi berada didunia roh? – aku
harap memang begitu.
“Kami akan
membawamu kembali, beruntung kau selamat dari kecelakaan pesawat yang
menewaskan banyak korban itu” – begitulah perkataan terakhir dokter yang kukira
adalah roh yang sama denganku. Aku rasa aku salah lagi tentang kematianku
ditengah hutan belantara. Yah, aku sangat bersyukur aku masih memiliki
kesempatan untuk bermain biola dan menyentuh Raka dengan jasadku yang nyata.
Aku belum mati, itu yang terpenting.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:
Post a Comment